Thursday, November 18, 2010

Resume Example

Resume




Resume adalah tulisan yang menyajikan informasi yang jelas, ringkas, dengan format yang rapi.

Dari prinsip dasar tersebut dapat diturunkan menjadi beberapa langkah dalam membuat resume dalam kaitannya untuk memancing wawancara:



1. Buatlah informasi yang jelas dan ringkas.

Informasi yang jelas dan ringkas yaitu informasi yang berhubungan dengan keprofesionalan seseorang. Informasi yang tidak berhubungan dengan keprofesionalan adalah informasi yang cenderung personal, seperti status perkawinan, jumlah anak, agama, atau golongan darah. Informasi yang cenderung personal seperti itu memang sebaiknya tidak dicantumkan. Sebab, keterangan semacam itu bisa memancing anggapan-anggapan tertentu yang bisa kurang menguntungkan pelamar. Sementara untuk mengetahui kualitas pelamar yang lebih dalam adalah melalui wawancara. Anggapan negatif bisa menyempitkan peluang pelamar memperoleh wawancara.

2. Jangan terjebak untuk menampilkan resume dengan membuat format yang menarik tetapi mengabaikan isi.

Mengorganisasi informasi diri adalah hal penting yang harus mendapat perhatian pelamar. Seorang pelamar sebisa mungkin bisa menonjolkan potensi dirinya, misalnya melalui pencapaian-pencapaian (accomplishment) yang pernah mereka perbuat. Seorang pelamar kerap kali terlupakan menyajikan accomplishment mereka, tetapi hanya menjabarkan responsibility (tanggung jawab) pada pekerjaan mereka sebelumnya. Padahal, accomplishment bisa menjadi semacam garansi bahwa si pelamar ini dapat bekerja baik dalam berbagai situasi. Namun, Anda jangan pula terjebak menuliskan promosi jabatan sebagai bagian dari prestasi atau pencapaian itu. Kalau promosi tersebut ukurannya tidak jelas, bisa saja calon penyelenggara pekerjaan berpikir bahwa promosi itu subyektif. Bisa jadi, misalnya, karena dia pandai melayani bos lamanya.

3. Anda tetap harus jujur .

Ingat, jangan sekali-kali menuliskan pada resume anda suatu pengalaman yang anda sendiri tidak mengalaminya. Memang seseorang terkadang merasa gengsi dengan pengalaman yang dia miliki, karena merasa kalah pengalaman. Percayalah pada diri anda sendiri bahwa anda mempunyai kelebihan yang orang lain tidak punya.


4. Bagi pelamar kerja yang belum berpengalaman, misalnya lulusan perguruan tinggi, mencantumkan kegiatan-kegiatan selama masa kuliah tidak ada salahnya.

Namun, sebaiknya hanya mencantumkan kegiatan yang sekiranya cukup penting dan ada pencapaian yang berhasil diperolehnya melalui kegiatan tersebut. Tidak dianjurkan mencantumkan berbagai seminar yang pernah diikuti. Itu kurang relevan dan hanya menambah panjang lembar resume saja.


5. Eksplisit (Gamblang, Jelas)

Jangan membuat orang yang membaca resume anda mengintepretasikan atau mengartikan hal yang berbeda.
Contoh sederhana : pada bagian pendidikan, anda menuliskan Sarjana Akuntansi Universitas Pancasila, dan tidak menambahkan nama kota lokasinya. Jangan berasumsi bahwa pembaca pasti tahu Universitas Pancasila itu ada di Jakarta. Oleh karena itu tambahkan nama kota dibelakangnya, misalkan Sarjana Akuntansi Universitas Pancasila - Jakarta.

Friday, July 23, 2010

Citra Asuransi: Bentukan Sejarah Yang Harus Diubah






Hanya ada dua kejadian untuk membuat orang ingat atau terpikir tentang asuransi. Pertama saat ia ditawari oleh agen asuransi, dan karena saking gencar dan agresifnya penawaran sang agen, ia selalu berpikir tentang “asuransi” bahkan saat bertemu atau ditelepon orang tak dikenal yang mencarinya, meski tujuan orang itu berkomunikasi boleh jadi bukan untuk menawari asuransi.


Yang kedua adalah saat terjadi “gangguan” yang menimpa orang itu. Gangguan ini bisa berupa sesuatu yang masih bersifat potensi atau ancaman, namun bisa juga sesuatu yang sudah terjadi, dialami, dan dirasakan dalam bentuk musibah. Gangguan bisa berbentuk apa saja, mulai dari kehilangan, kerusakan, kebakaran, kebanjiran, atau kecelakaan. Gangguan kadarnya bisa ringan, bisa pula berat. Yang berat tentu saja akan lebih diingat, lebih diperhatikan. Yang ringan lebih mudah dilupakan.

Mengapa hanya pada dua momen tersebut umumnya kata “asuransi” terlintas di benak orang? Semuanya berpangkal pada “kebutuhan”. Pada contoh kejadian yang pertama, orang merasa dikejar-kejar, dipaksa-paksa, didorong-dorong, padahal ia merasa belum butuh atau tidak merasa membutuhkan asuransi. Pada contoh kedua, orang merasa menyesal tidak melindungi dirinya saat benar-benar membutuhkan perlindungan.
Maka, pertanyaan berikutnya adalah, mengapa orang tidak merasa butuh ketika ditawari asuransi? Sebelum pertanyaan itu terjawab, pertanyaan tentang mengapa orang menyesal tidak ikut asuransi saat ia butuh tidak perlu diajukan di sini. Pepatah mengatakan, “.....sesal kemudian tak berguna”.




Kurangnya Kesadaran Akan Risiko
Setiap orang tentu menyadari bahwa hidup adalah suatu perjalanan yang penuh risiko. Dari bangun tidur, beraktivitas, sampai dengan ia kembali beristirahat di tempat tidur, semuanya mengandung risiko. Risiko selalu berkonotasi negatif, sedang yang berkonotasi positif adalah berkah atau peluang. Risiko selalu membawa kerugian dan kesusahan bila datang menghampiri siapa saja. Oleh karenanya, sebagian besar orang lebih memilih mengambil suatu langkah dengan risiko yang paling kecil, paling minim.

Namun tidak banyak orang yang menyadari bahwa risiko bisa dikelola, risiko bisa dikurangi, dan risiko bisa dibagi dengan pihak lain. Kesadaran untuk mengelola risiko dan membaginya dengan pihak lain sendiri masih rendah karena orang masih merasa malu atau enggan berbagi kekhawatiran dengan orang lain, dan lalu menyimpannya untuk diri mereka sendiri. Pandangan kultural atau keagamaan juga sering membuat orang tidak mau berasuransi sebagai bagian dari pembagian risiko bersama.

Padahal, nyaris setiap detik kita bersinggungan dengan risiko. Apalagi hidup dengan kondisi alam dan situasi sosial seperti di Indonesia. Bayangkan saja saat terjadinya gempa di Tasikmalaya 2 September 2009 lalu yang mengguncang hampir seluruh warga ibukota dan kota-kota lainnya di sebagian Pulau Jawa, dan membuat panik orang-orang untuk sesaat lantaran terjadi di siang hari saat semua orang sedang menjalankan aktivitas.

Bayangkan pula maraknya berita-berita kebakaran di sejumlah tempat yang menghanguskan seluruh harta benda para korban. Kebakaran itu juga terjadi oleh pelbagai sebab, sehingga nyaris tidak dapat diprediksi tempat dan seberapa hebat eskalasinya. Belum lagi fenomena banjir atau tanah longsor yang praktis menjadi problem tahunan setiap kali musim hujan tiba.

Kondisi alam Indonesia yang nyaris selalu terancam oleh gempa karena terletak tepat di atas pertemuan lempeng bumi juga semakin diperburuk oleh kenyataan bahwa dewasa ini perubahan iklim dan cuaca telah mendatangkan gangguan-gangguan lain yang tak kalah merusak seperti badai dan topan kencang, dan berpotensi merusak harta benda dan mengancam jiwa setiap orang.

Itu baru dari sisi alam. Dari sisi situasi dan interaksi sosial, hidup di Indonesia juga nyaris selalu berkubang dengan risiko. Setiap musim hujan tiba atau setiap terjadi pergantian musim, wabah penyakit yang disebabkan oleh bakteri, virus, atau nyamuk pasti merajalela. Secara endemik, nyamuk demam berdarah selalu mengancam warga setiap kali musim hujan tiba. Sistem dan tatanan sosial kita juga membuat virus flu burung sempat membuat pemerintah mengumumkan status kewaspadaan secara nasional. Belum lagi virus flu burung teratasi, muncul lagi virus flu babi yang juga meneror benak warga.

Secara sosial, selain gangguan kesehatan yang disebabkan oleh bakteri, virus, atau nyamuk seperti digambarkan di atas, gangguan kesehatan juga mengancam akibat menurunnya kualitas udara akibat polusi dan pencemaran udara yang akut, bahan-bahan makanan dan produk-produk makanan yang mengandung bahan kimia berbahaya, dan buruknya layanan kesehatan yang disediakan oleh pemerintah dan swasta. Penyakit gawat dan mematikan seperti jantung, stroke, liver, kanker, tuberkulosis, dan lain-lain, dalam banyak hal dipicu oleh faktor konsumsi makanan yang tidak sehat dan lingkungan yang kurang mendukung.

Belum lagi gangguan yang diakibatkan oleh fenomena buruknya sistem transportasi dan kemacetan yang parah di kota-kota besar, terutama di Jakarta dan sekitarnya. Kemacetan telah mendorong orang untuk menjadi lebih tidak sabar, rendah toleransi dan tenggang rasanya, dan menganggap setiap orang lain yang ditemui di jalanan adalah musuh yang mengancam. Dan disadari atau tidak, energi yang ditabung oleh setiap warga perkotaan saat ia tidur, boleh jadi 50%-nya sudah terbuang saat mereka berangkat dan pulang menuju tempat kerja. Akibatnya, risiko terjadinya kecelakaan dapat dipastikan semakin membesar seiring dengan meningkatnya kemacetan lalu lintas.

Pandangan Akibat Bentukan Sejarah Masa Lalu
Bila secara alam dan sosial orang sebenarnya sudah dikepung oleh pelbagai risiko, mengapa asuransi masih menjadi sesuatu yang dianggap aneh atau ditempatkan sebagai kebutuhan tersier –bukan primer atau sekunder-- bagi sebagian besar warga? Di negara-negara maju, asuransi adalah produk dicari oleh warga, sementara di sini, asuransilah yang harus mencari warga untuk ikut serta.

Kenyataan ini tidak terlepas dari persepsi atau anggapan orang tentang asuransi, yang terbentuk dari sejarah dan proses pengenalan akan asuransi di masa silam dan cerita dari mulut ke mulut yang menyebar tentang gambaran buruk asuransi. Orang merasa ikut asuransi karena keterpaksaan, bukan karena kebutuhan. Terpaksa karena kenal dengan agennya, terpaksa karena merasa tidak enak dengan yang menawari, terpaksa karena sang agen sang agen memang benar-benar memaksa, atau terpaksa karena mereka sudah pernah mengalami musibah. Namun apakah setiap orang harus menunggu mendapatkan musibah untuk mengikuti program asuransi? Betapa konyol!

Gambaran tentang perusahaan asuransi atau agen asuransi juga buruk. Perusahaan asuransi dianggap rakus dan mau menang sendiri, mengakali ketidaktahuan masyarakat tentang asuransi, dan bermain-main dengan nasib orang lain. Agen asuransi dianggap profesi terakhir karena si agen tidak mendapatkan pekerjaan di tempat lain. Agen asuransi berpenampilan bukan seperti pekerja profesional. Agen asuransi dianggap sering menipu dengan menyembunyikan informasi yang seharusnya diketahui calon nasabah, dan menawarkan hanya yang manis-manis saja.

Gambaran yang lebih buruk tentang asuransi juga dapat terekam dari kasus-kasus yang muncul di media massa. Tidak pernah orang merasa perlu untuk berbagi dan menyampaikan kabar baik melalui media massa tentang betapa besarnya manfaat yang mereka peroleh dengan mengikuti asuransi dan ketika mendapatkan musibah merasa terkurangi bebannya. Yang selalu muncul di media massa adalah komplain atau keluhan akan sulitnya orang mencairkan uang pertanggungan, sulitnya mengajukan klaim, repot dan birokratisnya perusahaan asuransi menghadapi permintaan nasabah, atau kakunya aturan dalam asuransi sehingga membuat orang merasa dijerumuskan, diperlakukan semena-mena, dan sebagainya. Sementara “kabar baik” tentang asuransi selalu datang dari perusahaan asuransi dan khalayak akan menganggap berita tersebut sebagai iklan yang cuma mau memikat calon nasabah.

Padahal bila ditelusuri lebih jauh, barangkali keluhan atau komplain tentang layanan asuransi tersebut bersumber sendiri dari pengenalan yang kurang lengkap akan produk dan jasa asuransi, ketidaktelitian nasabah dalam memahami dan mempelajari klausul-klausul detail dalam produk asuransi, minimnya sumber-sumber informasi terpercaya tentang produk dan layanan asuransi, dan repotnya birokrasi saat berurusan dengan asuransi, bahkan untuk membayar premi sekalipun.

Mula-mula masyarakat luas memang lebih mengenal asuransi sebatas asuransi jiwa. Namun dalam perkembangannya, asuransi jiwa kemudian dapat lebih dipahami dan dirasakan manfaatnya seiring dengan perkembangan tingkat kesadaran masyarakat itu sendiri. Kesadaran itu justru muncul saat perusahaan asuransi menawarkan pelbagai produk diversifikasi yang memberikan perlindungan tidak hanya bagi jiwa seseorang melainkan hampir seluruh produk properti yang dapat dimiliki orang, mulai dari rumah/properti, kendaraan, peralatan elektronik, barang berharga, bahkan sampai dengan tanaman atau binatang.

Berkaitan dengan jiwa seseorang, bahkan tubuh atau bagian-bagian tubuh seseorang juga dapat diasuransikan secara sendiri-sendiri. Misalnya saja orang mengasuransikan pita suaranya karena suara adalah organ yang paling berharga. Atau mengasuransikan wajahnya, matanya, lengannya, kakinya, karena melalui bagian-bagian tubuh itulah mereka mendapatkan penghasilan dan dari bagian tubuh itulah ia menopang seluruh kehidupannya.
Secara umum, asuransi dikelompokkan menjadi dua bagian besar, yakni asuransi jiwa (life insurance) dan asuransi non-jiwa atau sering disebut asuransi umum (general insurance). Lingkup kegiatan atau produk yang ditawarkan oleh perusahaan asuransi jiwa mencakup pertanggungan risiko finansial/ekonomi atas segala sesuatu risiko yang berkaitan dengan aspek hidupnya seorang manusia. Sementara pertanggungan terhadap risiko-risiko lain non-jiwa menjadi bidang garap asuransi umum.

Potret Yang Berubah
Namun benarkah gambaran tentang asuransi masih sama sebangun dengan dengan gambaran buruk yang terbentuk oleh tumpukan waktu dan sejarah? Dewasa ini, akses untuk mendapatkan informasi tentang asuransi semakin terbuka dan mudah. Orang bisa mengaksesnya dari internet, bahkan dari ponsel. Produk-produk atau layanan jasa asuransi juga relatif mudah untuk didapatkan, baik melalui perusahaan asuransi itu sendiri maupun melalui pihak-pihak ketiga yang bekerja sama dengan perusahaan asuransi.

Gambaran tentang agen asuransi juga relatif bergeser. Sekarang ini, profesi sebagai agen asuransi tidak lagi dipandang sebagai pekerjaan batu loncatan. Banyak orang meninggalkan pekerjaan lama yang bergaji puluhan juta rupiah per bulan dan lebih memilih menekuni pekerjaan sebagai agen asuransi. Agen asuransi juga bukan sebuah profesi yang diharamkan untuk dilakukan secara paralel, sehingga nyaris tidak ada satu perusahaan non asuransi yang melarang karyawannya untuk menjadi agen asuransi. Pekerjaan ini dapat dikerjakan di luar waktu-waktu kerja. Pendapatan yang diperoleh seorang agen asuransi tidak lagi dapat dikatakan cuma penghasilan tambahan, mengingat potensi dan reward system dalam dunia ini sudah relatif matang.

Penampilan seorang agen asuransi sekarang ini juga berubah. Calon nasabah tidak lagi dipusingkan dengan serakan kertas-kertas dan angka-angka yang tidak mudah mereka pahami. Simulasi dan perhitungan yang berkaitan dengan sebuah produk asuransi bisa dipresentasikan melalui laptop atau PDA yang sudah menjadi perangkat wajib bagi seorang agen, sehingga informasi yang diterima oleh calon nasabah juga dapat diterima secara akurat dan lebih cepat.

Yang lebih penting lagi, informasi tentang produk dan layanan asuransi kini nyaris berserakan, terutama di internet. Kalau Anda mencari informasi melalui mesin pencarian seperti Google dan memasukkan kata “asuransi”, akan ditemukan lebih dari 4,1 juta dokumen yang terkait dengan kata itu. Bila ditambahkan kata “Indonesia”, akan ditemukan kurang lebih 1,3 juta infomasi tentangnya. Selain itu, kemudahan orang untuk ikut dalam program asuransi juga semakin terasa. Perlindungan asuransi jiwa misalnya, dapat diperoleh langsung hanya dengan mengirimkan SMS ke nomor tertentu, dan berlaku untuk batas waktu tertentu sebagaimana disyaratkan. Ini berarti, outlet dan saluran informasi tentang asuransi sudah semakin terbuka lebar.

Bagaimana dengan performa perusahaan asuransi dalam melayani nasabahnya? Komplain, keluhan, keberatan yang berhubungan dengan layanan asuransi semakin dimudahkan berkat adopsi teknologi yang dijalankan oleh perusahaan asuransi dalam melayani nasabah. Saluran telepon bebas pulsa, SMS, email, web, dengan mudah dapat digunakan sehingga orang juga dapat mendapatkan kepastian akan keluhan yang mereka sampaikan dalam waktu cepat.

Yang masih menjadi pekerjaan rumah bagi perusahaan asuransi dan agen asuransi adalah bagaimana citra yang usang tentang asuransi ini dapat diubah secara cepat dan tepat sesuai dengan realitas yang sudah berubah, sehingga buah dan manfaat dari layanan asuransi dapat dinikmati oleh masyarakat yang lebih luas.
Pendekatan dan program sosialisasi atau edukasi kepada masyarakat luas memang merupakan tanggung jawab yang nyaris tanpa ujung dan tanpa batas waktu. Dan di situlah konsistensi program sosialisasi dan edukasi itu mendapatkan ujian sesungguhnya.